## Krisis Politik di Nepal: Pengunduran Diri Perdana Menteri di Tengah Protes Berdarah Menuntut Aksi Anti-Korupsi
Nepal dilanda krisis politik yang mendalam setelah Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri di tengah gelombang protes besar-besaran yang menewaskan sedikitnya 22 orang dalam dua hari terakhir. Kerusuhan ini merupakan yang terburuk yang dialami negara Himalaya tersebut dalam beberapa dekade terakhir, menandai puncak kekecewaan publik terhadap pemerintahan yang dianggap korup dan tidak responsif. Aksi protes ini, yang awalnya dipicu oleh pemblokiran akses terhadap sejumlah platform media sosial, telah bermetamorfosis menjadi gerakan massa yang menuntut pertanggungjawaban atas korupsi yang merajalela di kalangan elit politik.
Pemerintah Nepal, di bawah kepemimpinan KP Sharma Oli, sebelumnya telah memblokir akses ke 26 platform media sosial populer, termasuk Facebook, Instagram, dan X (sebelumnya Twitter), dengan dalih untuk menekan penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan penipuan daring. Keputusan kontroversial ini, yang diberlakukan sejak Jumat (5 September 2024), justru memicu kemarahan publik dan menjadi pemantik demonstrasi besar-besaran. Meskipun larangan tersebut dicabut pada Senin malam (8 September 2024), protes telah meluas dan berubah menjadi tuntutan yang lebih fundamental: pemberantasan korupsi yang sistemik.
Pada Senin, bentrokan sengit terjadi di sekitar gedung parlemen Kathmandu. Sedikitnya 19 orang meninggal dunia dalam insiden tersebut, sementara puluhan lainnya mengalami luka-luka. Eskalasi kekerasan berlanjut pada hari Selasa, dengan massa yang semakin membesar membakar gedung parlemen, menyerang kantor-kantor pemerintahan, dan bahkan membakar rumah para tokoh politik, termasuk kediaman KP Sharma Oli yang telah empat kali menjabat sebagai Perdana Menteri. Tragedi ini diperparah dengan laporan 900 narapidana yang melarikan diri dari dua penjara di wilayah barat Nepal di tengah kekacauan tersebut.
Di dalam gedung parlemen, para pengunjuk rasa melakukan aksi demonstrasi yang dramatis. Mereka menari, meneriakkan yel-yel, mengibarkan bendera Nepal, dan menyalakan api di pintu masuk gedung. Jendela-jendela gedung pecah, dinding-dindingnya dicoret dengan grafiti anti-pemerintah, sementara di luar, markas Partai Kongres Nepal dan rumah pemimpinnya, Sher Bahadur Deuba, juga menjadi sasaran amuk massa. Suasana chaos dan penuh amarah mewarnai peristiwa tersebut, menunjukkan tingkat kekecewaan rakyat yang begitu mendalam.
Dalam surat pengunduran dirinya kepada Presiden Ramchandra Paudel, KP Sharma Oli menyatakan bahwa keputusannya diambil untuk membuka jalan bagi solusi konstitusional atas krisis yang melanda negara tersebut. Ia berharap pengunduran dirinya dapat memfasilitasi penyelesaian masalah secara politik sesuai dengan konstitusi Nepal. Namun, hingga saat ini, masih belum jelas siapa yang akan menggantikannya, sementara beberapa menteri dilaporkan bersembunyi di bawah perlindungan aparat keamanan. Tentara Nepal mengeluarkan peringatan keras, menyatakan kesiapannya untuk mengambil alih kendali jika kerusuhan tidak mereda.
Meskipun gerakan protes tampak spontan dan tanpa kepemimpinan yang terorganisir secara formal, hal ini tidak mengurangi dampak dan signifikansinya. Seorang warga Kathmandu, Muna Shreshta (20 tahun), menggambarkan aksi ini sebagai momentum penting bagi generasi muda Nepal yang haus akan perubahan. Ia mengungkapkan keinginan untuk melihat perubahan nyata, dimana pajak yang dibayarkan oleh rakyat digunakan untuk membangun masa depan negara, bukan untuk memperkaya segelintir elite politik.
Faktor lain yang turut memperkuat gelombang protes ini adalah kampanye viral “nepo kid” yang menyoroti gaya hidup mewah anak-anak para politisi. Kampanye ini telah berhasil menyuarakan ketidakadilan dan korupsi yang selama ini dianggap sebagai hal yang lumrah di kalangan elit. Kampanye ini semakin memperkuat sentimen publik terhadap pemerintah yang dinilai gagal menjalankan amanah dan melindungi kepentingan rakyat.
Nepal kini menghadapi masa transisi yang penuh ketidakpastian. Dengan pengunduran diri Perdana Menteri dan demonstrasi yang masih meluas, masa depan politik negara Himalaya ini masih menjadi tanda tanya besar. Krisis ini tidak hanya menyoroti pentingnya kebebasan berekspresi dan akses informasi, tetapi juga menjadi cerminan dari permasalahan akar rumput yang lebih dalam: korupsi, ketidakadilan, dan tuntutan akan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Peristiwa ini menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara lain tentang pentingnya responsibilitas pemerintahan dan penanganan isu korupsi yang efektif.